SEJARAH PRAMUKA
Gerakan
Pramuka Indonesia
adalah nama organisasi pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di Indonesia. Kata "Pramuka" merupakan singkatan dari Praja
Muda Karana, yang memiliki arti Orang Muda yang Suka Berkarya.
Pramuka
merupakan sebutan bagi anggota
Gerakan Pramuka, yang
meliputi; Pramuka
Siaga (7-10 tahun), Pramuka
Penggalang (11-15
tahun), Pramuka
Penegak (16-20 tahun)
dan Pramuka
Pandega (21-25
tahun). Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina Pramuka, Andalan Pramuka, Korps
Pelatih Pramuka, Pamong
Saka Pramuka, Staf
Kwartir dan Majelis
Pembimbing.
Kepramukaan adalah proses pendidikan di luar
lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik,
menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka
dengan Prinsip
Dasar Kepramukaan dan
Metode
Kepramukaan, yang
sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak, dan budi pekerti luhur. Kepramukaan
adalah sistem pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan,
kepentingan, dan perkembangan masyarakat, dan bangsa Indones
Sejarah
Gerakan Pramuka atau Kepanduan di
Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1923 yang ditandai dengan
didirikannya (Belanda) Nationale Padvinderij
Organisatie (NPO) di Bandung.[1]
Sedangkan pada tahun yang sama, di Jakarta
didirikan (Belanda) Jong
Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO).[1]
Kedua organisasi cikal bakal kepanduan di
Indonesia
ini meleburkan diri menjadi satu, bernama (Belanda) Indonesische
Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) di Bandung
pada tahun 1926.[1] Pendirian
gerakan ini pada tanggal 14
Agustus 1961 sedikit-banyak
diilhami oleh Komsomol di Uni
Soviet.[2]
Pada tanggal 26
Oktober 2010, Dewan Perwakilan Rakyat
mengabsahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka.
Berdasarkan UU ini, maka Pramuka bukan lagi satu-satunya organisasi yang boleh
menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Organisasi profesi juga diperbolehkan
untuk menyelenggarakan kegiatan kepramukaan. [3]
Masa
Hindia Belanda
Kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa pemuda Indonesia
mempunyai "saham" besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan
Indonesia serta ada dan berkembangnya pendidikan kepanduan nasional Indonesia.
Dalam perkembangan pendidikan kepanduan itu tampak adanya dorongan dan semangat
untuk bersatu, namun terdapat gejala adanya berorganisasi yang Bhinneka.
Organisasi kepanduan
di Indonesia dimulai oleh adanya cabang "Nederlandsche
Padvinders Organisatie" (NPO) pada tahun 1912,
yang pada saat pecahnya Perang
Dunia I memiliki kwartir besar sendiri serta kemudian
berganti nama menjadi "Nederlands-Indische
Padvinders Vereeniging" (NIPV) pada tahun 1916.
Organisasi Kepanduan
yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia adalah Javaansche Padvinders
Organisatie; berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII
pada tahun 1916.
Kenyataan bahwa
kepanduan itu senapas dengan pergerakan nasional, seperti tersebut di atas
dapat diperhatikan pada adanya "Padvinder Muhammadiyah"
yang pada 1920 berganti nama menjadi "Hizbul
Wathan" (HW); "Nationale Padvinderij" yang
didirikan oleh Budi Utomo; Syarikat Islam mendirikan "Syarikat Islam
Afdeling Padvinderij" yang kemudian diganti menjadi "Syarikat Islam
Afdeling Pandu" dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietische
Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch
Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia.
Hasrat bersatu bagi
organisasi kepanduan Indonesia waktu itu tampak mulai dengan terbentuknya PAPI
yaitu "Persaudaraan Antara Pandu Indonesia" merupakan federasi dari
Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928.
Federasi
ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930
berdirilah Kepanduan
Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java
Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij);
PK-Pandu Kebangsaan).
PAPI kemudian
berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada
bulan April 1938.
Antara tahun
1928-1935 bermuncullah gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernapas utama
kebangsaan maupun bernapas agama. kepanduan yang bernapas kebangsaan dapat
dicatat Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan
(PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Sedangkan
yang bernapas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul
Wathan, Kepanduan Islam
Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma
(Kristen), Kepanduan Azas Katolik Indonesia (KAKI),
Kepanduan Masehi Indonesia (KMI).
Sebagai upaya untuk
menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia
BPPKI merencanakan "All Indonesian Jamboree". Rencana ini mengalami
beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan, yang
kemudian disepakati diganti dengan "Perkemahan Kepanduan Indonesia
Oemoem" disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di
Yogyakarta.
Masa
Perang Dunia II
Pada masa Perang
Dunia II, bala tentara Jepang mengadakan penyerangan dan Belanda meninggalkan
Indonesia. Partai dan organisasi rakyat Indonesia, termasuk gerakan kepanduan,
dilarang berdiri. Namun upaya menyelenggarakan PERKINO II tetap dilakukan.
Bukan hanya itu, semangat kepanduan tetap menyala di dada para anggotanya.
Karena Pramuka merupakan suatu organisasi yang menjunjung tinggi nilai
persatuan. Oleh karena itulah bangsa Jepang tidak mengizinkan Pramuka di
Indonesia.
Masa
Republik Indonesia
Sebulan sesudah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh
kepanduan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk
membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja,
menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepanduan untuk seluruh bangsa
Indonesia dan segera mengadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia.
Kongres yang dimaksud
dilaksanakan pada tanggal 27-29 Desember 1945 di Surakarta dengan hasil
terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia. Perkumpulan ini didukung oleh segenap
pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan "Janji Ikatan Sakti", lalu
pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan
No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.
Tahun-tahun sulit
dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena serbuan Belanda. Bahkan pada
peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1948
waktu diadakan api unggun di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta,
senjata Belanda mengancam dan memaksa Soeprapto menghadap Tuhan, gugur sebagai
Pandu, sebagai patriot yang membuktikan cintanya pada negara, tanah air dan
bangsanya. Di daerah yang diduduki Belanda, Pandu Rakyat dilarang berdiri,.
Keadaan ini mendorong berdirinya perkumpulan lain seperti Kepanduan Putera
Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Masa perjuangan
bersenjata untuk mempertahankan negeri tercinta merupakan pengabdian juga bagi
para anggota pergerakan kepanduan di Indonesia, kemudian berakhirlah periode
perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahakan kemerdekaan itu, pada
waktu inilah Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada
tanggal 20-22 Januari 1950.
Kongres ini antara
lain memutuskan untuk menerima konsepsi baru, yaitu memberi kesempatan kepada
golongan khusus untuk menghidupakan kembali bekas organisasinya masing-masing
dan terbukalah suatu kesempatan bahwa Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi
satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia dengan keputusan Menteri PP dan
K nomor 2344/Kab. tertanggal 6 September 1951 dicabutlah pengakuan pemerintah
bahwa Pandu Rakyat Indonesia merupakan satu-satunya wadah kepanduan di
Indonesia, jadi keputusan nomor 93/Bag. A tertanggal 1 Februari 1947 itu
berakhir sudah.
Mungkin agak aneh
juga kalau direnungi, sebab sepuluh hari sesudah keputusan Menteri No.
2334/Kab. itu keluar, maka wakil-wakil organi-sasi kepanduan menga-dakan
konfersensi di Ja-karta. Pada saat inilah tepatnya tanggal 16 September 1951
diputuskan berdirinya Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) sebagai suatu federasi.
Pada 1953 Ipindo
berhasil menjadi anggota kepanduan sedunia
Ipindo merupakan
federasi bagi organisasi kepanduan putera, sedangkan bagi organisasi puteri
terdapat dua federasi yaitu PKPI (Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia) dan
POPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia). Kedua federasi ini
pernah bersama-sama menyambut singgahnya Lady Baden-Powell ke Indonesia, dalam
perjalanan ke Australia.
Dalam peringatan Hari
Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional,
bertempat di Ragunan, Pasar
Minggu pada tanggal 10-20 Agustus 1955,
Jakarta.
Ipindo sebagai wadah
pelaksana kegiatan kepanduan merasa perlu menyelenggarakan seminar agar dapat
gambaran upaya untuk menjamin kemurnian dan kelestarian hidup kepanduan.
Seminar ini diadakan di Tugu, Bogor
pada bulan Januari 1957.
Seminar Tugu ini
meng-hasilkan suatu rumusan yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi setiap
gerakan kepanduan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan ke-pramukaan yang
ada dapat dipersatukan. Setahun kemudian pada bulan Novem-ber 1958, Pemerintah
RI, dalam hal ini Departemen PP dan K mengadakan seminar di Ciloto, Bogor, Jawa
Barat, dengan topik "Penasionalan Kepanduan".
Kalau Jambore untuk
putera dilaksanakan di Ragunan Pasar Minggu-Jakarta, maka PKPI menyelenggarakan
perkemahan besar untuk puteri yang disebut Desa Semanggi bertempat di Ciputat.
Desa Semanggi itu terlaksana pada tahun 1959. Pada tahun ini juga Ipindo
mengirimkan kontingennya ke Jambore Dunia di MT. Makiling Filipina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar